Tag

, , , , ,

Gambar

1. Pendahuluan

Sejatinya, pendidikan tidak hanya bertujuan untuk mengembangkan keilmuan, tetapi juga membentuk kepribadian, kemandirian, keterampilan sosial, dan karakter (Zuchdi, 2010). Lembaga pendidikan tinggi dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, sudah selayaknya memiliki komitmen untuk melaksanakan dan mengawal pembentukan karakter bangsa. Pengembangan budaya akademik menjadi titik temu antara upaya pembinaan karakter dengan peningkatan kualitas sebagai hasil dari proses pendidikan tinggi. Karakter merupakan bagian integral dari budaya akademik,mengingat karakter diperlukan dan berpotensi dikembangkan dari setiap aktivitas akademik.

Pendidikan tinggi (Universitas), pada dasarnya merupakan ladang tempat lahirnya kader-kader intelektual. Sehingga disinilah nilai-nilai positif seperti jujur, cerdas, peduli, tangguh, tanggung jawab, religius dan nilai positif lainnya bisa ditanamkan, terinternalisasi, dan menjadi sebuah budaya dalam upaya membangun tradisi intelektual.

Sementara yang lain, lebih mengartikan kampus sebagai tempat untuk beradu fashion, sebagai tempat trendi-trendian, sebagai tempat tebar pesona dan bermain cinta masa muda, dengan kesibukan untuk kian menegaskan gaya hidup baru yang dibentuk oleh modernisasi. Tidak heran jika banyak mahasiswa hanya datang ke kampus, duduk dan diam mendengarkan penjelasan dari dosen kemudian pulang. Mereka lebih nyaman berlama-lama hang-out di mall, menikmati indahnya dunia masa muda dengan semakin menyuburkan sikap hedonis dan konsumtif dalam jiwa mereka.

Lalu, inikah yang disebut “Mahasiswa” yang  tidak lain adalah golongan tertinggi dari kaum pelajar. Melihat fakta di lapangan, mungkinkah mahasiswa adalah sosok kaum muda berintelektual yang menghalalkan segala cara untuk hanya mencapai tujuan–tujuan akademik (nilai/ijasah), atau yang menggunakan suara dan pergerakannya dengan apatis dan anarkis, atau yang muda yang hanya berpusat pada kehidupan hedonis dan konsumtif, layaknya cerita-cerita dalam sinetron.

Nyatanya, Itu hanyalah sebagian cermin dari tumpukan cermin-cermin retak yang memantulkan permasalahan bangsa kita terkait dunia kampus dan mahasiswa. Dari masa ke masa, kian beraneka karakter mahasiswa menghiasi bahkan bisa dikatakan mendominasi dinamika pergaulan dunia kampus. Kampus di era kekinian, tak ubahnya sebagai pusat kebobrokan moral, elitism, antikerakyatan, dan lahan bisnis ala dunia pendidikan. Dunia kampus pun kini telah menjadi korban dari intervensi budaya luar yang penuh kepentingan kapitalistik. Menjadikan mahasiswa lupa bahwa kampus adalah tempat yang memang dimaksudkan untuk kegiatan akademis dan non-akademis.

Dilihat secara logika, bagaimana bisa mengharapkan adanya output yang berkompeten dan berkarakter jika di lingkungan pendidikan tersebut seolah tidak pernah memberikan mainstream untuk itu. Padahal, jika budaya akademik kampus yang positif mampu diterapkan dengan maksimal, akan mampu mendorong tumbuhnya iklim sosial dan interaksi yang sehat antar civitas akademika. Serta mampu menggali potensi diri para mahasiswa, dan mampu membentuk mereka tidak hanya dari oleh pikir, tapi juga dari olah hati, olah raga, dan olah rasa/karsa.

Atas dasar itulah, penulis berusaha mengupas sinergi etika serta budaya akademik, bagaimana sebuah budaya akademik tercipta dan berjalan di sebuah perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi yang sudah memproklamirkan dirinya sebagai Perguruan Tinggi dengan nilai-nilai pendidikan karakter melalui motto barunya yang bertajuk “Growing with Character”. Tentu, motto tersebut mengandung motivasi yang kuat untuk melakukan perubahan dan perbaikan diri yang mengarah kepada terjadinya peningkatan mutu. Baik secara kualitas intelektual, ataupun dari segi karakter mahasiswa yang dihasilkan.

2. Etika dan Budaya Akademik.

Perguruan tinggi merupakan suatu lingkungan pendidikan tinggi bukan merupakan lingkungan yang eksklusif. Dengan demikian, maka kampus merupakan komunitas atau masyarakat yang tersendiri yang disebut masyarakat akademik (academic community). Di dalam kampus terdapat kegiatan-kegiatan dan tata aturan yang lain dari yang lain. Oleh karena itu, kampus menjadi semacam lembaga akademik dan jalinan antarkampus memiliki suasana yang khas, yaitu suasana akademik (academic atmosphere). Ciri-ciri masyarakat akademik yaitu kritis, objektif, analitis, kreatif dan konstruktif, terbuka untuk menerima kritik, menghargai waktu dan prestasi ilmiah, bebas dari prasangka, kemitraan dialogis, memiliki dan menjunjung tinggi norma dan susila adademik serta tradisi ilmiah, dinamis, dan berorientasi kemasa depan.

Hak milik yang paling berharga bagi suatu perguruan tinggi adalah kebebasan, otonomi, dan budaya akademik (academic culture). Budaya akademik dapat dipahami sebagai suatu totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat akademik khususnya di lembaga pendidikan (richoareviant.blogspot.com). Budaya akademik lebih cenderung diarahkan pada budaya kampus (campus culture) yang tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan intelektual, tetapi juga kejujuran, kebenaran dan pengabdian kepada kemanusiaan, sehingga secara keseluruhan budaya kampus adalah budaya dengan nilai-nilai karakter positif.

Nilai-nilai utama karakter inilah yang sebenarnya menjadi penyokong utama dalam proses terciptanya budaya akademik. Budaya akademik sendiri adalah budaya universal yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang yang melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik. Budaya ini seharusnya melekat dalam diri semua insan akademisi perguruaan tinggi, baik itu dosen ataupun mahasiswa. Karena, pada dasarnya budaya akademik juga merujuk pada cara hidup masyarakat ilmiah yang majemuk dan multikultural yang bernaung dalam sebuah institusi yang mendasarkan diri pada nilai-nilai kebenaran ilmiah dan objektifitas.

Perbincangan mengenai budaya akademik akan membawa kita pada sebuah kata kunci yang menjadi dasar pijakan untuk pembahasan selanjutnya, yaitu etika atau etik. Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani, “ethos” yang artinya cara berpikir, kebiasaan, adat, perasaan, sikap, karakter, watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, ada 3 (tiga) arti yang dapat dipakai untuk kata Etika, salah satunya adalah etika sebagai sistem nilai atau sebagai nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pedoman bagi seseorang atau kelompok untuk bersikap dan bertindak. Etika juga bisa diartikan sebagai kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak atau moral. Selain itu, Etika bisa juga diartikan sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk yang diterima dalam suatu masyarakat, menjadi bahan refleksi yang diteliti secara sistematis dan metodis.

Kata-kata etika, etik dan moral merujuk ke persoalan baik-buruk, lurus-bengkok, benar-salah dan adanya penyimpangan ataupun pelanggaran praktek tidak lagi disebabkan oleh faktor yang bersifat di luar kendali manusia (force majeur), tetapi lebih diakibatkan oleh semakin kurangnya pemahaman etika yang melandasi perilaku manusia. Sementara itu banyak orang yang menaruh harapan terhadap lembaga pendidikan agar tidak hanya memberi bekal pengetahuan (knowledge) ataupun ketrampilan (skill) saja kepada anak didik, melainkan juga pemahaman dan pembentukan soft skill seperti watak, sikap dan perilaku (attitude) di dalam kehidupan sehari-hari. Tiga aspek tersebut akhirnya akan menjadi dasar pembentukan dan penilaian terhadap kompetensi seseorang sebagai hasil dari sebuah proses pendidikan. Istilah etik merupakan istilah-istilah yang memiliki makna yaitu sebuah pengertian tentang salah dan benar, atau buruk dan baik. Pernyataan ini harus dipahami sebagai nilai-nilai tradisional yang meskipun terkesan konservatif karena mengandung unsur nilai kejujuran (honesty), integritas dan perhatian pada hak serta kebutuhan orang lain, tetapi sangat tepat dijadikan standardalam menilai dan mempertimbangkan persoalan etika akademik, yang intinya menjunjung tinggi kebenaran ilmiah.

Dalam konteks seni pergaulan manusia, etika ini kemudian diwujudkan dalam bentuk kode etik tertulis, yang secara sistematik dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada, sehingga pada saat yang dibutuhkan dapat difungsikan sebagai dasar untuk menentukan segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari aturan, tata-tertib dan/atau kode etik yang mengaturnya. Dengan demikian, etika akademik dapat diartikan sebagai ketentuan yang menyatakan perilaku baik

atau buruk dari para anggota civitas akademika perguruan tinggi (PT), ketika mereka berbuat atau berinteraksi dalam kegiatan yang berkaitan dengan ranah dalam proses pembelajaran. Etika akademik perlu ditegakkan untuk menciptakan suasana akademik yang kondusif bagi pengembangan PT sesuai standar yang telah ditetapkan. PT merupakan masyarakat akademik yang mekanisme kerjanya akan terikat pada etika-moral untuk melaksanakan misi dan tugas Tridharma PT yang disandangnya. Sivitas akademika PT yang terdiri atas 3 (tiga) kelompok yaitu mahasiswa, dosen, dan staf administrasi secara integratif membangun institusi PT dan berinteraksi secara alamiah di dalam budaya akademik untuk mencapai satu tujuan, yaitu mencerdaskan mahasiswa dalam aspek intelektual, emosi, dan ketaqwaan mereka. Sebagai konsekuensinya, etika akademik di PT juga harus melibatkan ketiga unsur itu. Jika mahasiswa tidak ada, dosen tidak berarti apapun, jika dosen tidak ada mahasiswa tidak berarti apa-apa, dan jika staf administrasi tidak ada, mahasiswa dan dosen tidak dapat menyelenggarakan proses pembelajaran dengan baik pula. Di dalam melaksanakan ketiga dharma PT (pendidikan/pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat), maka seluruh unsur sivitas akademika akan terikat pada etika akademik.

Bertolak dari gagasan di atas maka dapat dikemukakan bahwa atika pada hakekatnya adalah sebagai berikut:

  1. Yang esensial adalah etika bagian dari kebudayaan. Etika merupakan salah satu manifest dari wujud kebudayaan yakni tata kelakuan dan aspek eveluatif.
  2. Etika sangat penting, mengingat bahwa jika manusia berpegang pada etika, mereka tidak perlu tahu tentang apa yang seharusnya mereka lakukan karena sesuai dengan asas normatif, tetapi lebih penting, mereka bias pula bersifat konformitas sehingga peluang bagi timbulnya masyarakat yang damai integratif menjadi lebih besar.
  3. Etika berkaitan dengan sanksi. Artinya, jika seorang melanggar etika, maka yang bersangkutan akan terkena sanksi. Sanksi bias berbentuk sanksi social seperti cemooh, gunjingan, teguran, bahkan bias pada sanksi hukuman, jika pelanggaran yang mereka lakukan ada indikasi pidan maupun perdata yang melanggar etika hukum.

Sebagai contoh praktek baik dapat dikemukakan beberapa standar etika akademik, direpresentasikan sebagai etika dosen dan etika mahasiswa, yang akan memberikan jaminan mutu proses interaksi dosen-mahasiswa dan suasana akademik yang kondusif, seperti berikut :

3. Etika Dosen

Dosen adalah sebuah pilihan profesi mulia dan secara sadar diambil oleh seseorang yang ingin terlibat dalam proses mencerdaskan anak bangsa. Untuk itu dosen wajib untuk senantiasa meningkatkan kompetensi dan kualitasnya dalam kerangka melaksanakan Tridharma PT secara berkelanjutan dan bertanggungjawab. Berkaitan dengan hal-hal tersebut seorang dosen harus mematuhi beberapa etika akademik yang berlaku bagi dosen pada saat melaksanakan kewajiban serta tanggung-jawabnya. Kalau perlu etika akademik (dosen) ini diabarkan menjadi peraturan atau kontrak kerja yang mengikat, serta diikuti dengan sanksi akademik maupun kepegawaian bagi mereka yang melakukan pelanggaran. Sebagai contoh, kalau kewajiban utama seorang dosen adalah meningkatkan aspek kognitif dari mahasiswa dengan memberikan pengajaran, maka ketidakhadiran dosen dalam proses pembelajaran yang terlalu sering tidak hanya melanggar etika akademik, tetapi juga melanggar peraturan, komitmen, tanggung jawab dan sangat tidak profesional. Standar kehadiran dosen untuk melaksanakan proses pembelajaran (misalnya) minimal 75 – 80%. Dengan sanksi dalam hal tidak dipenuhi maka mata kuliah yang diasuhnya tidak dapat diujikan. Hal yang sama berlaku untuk mahasiswa (termuat dalam aturan akademik). ketidakhadiran kurang dari prosentase minimal akan menyebabkan yang bersangkutan tidak diperkenankan mengikuti ujian.

Satu contoh praktis lain dari implementasi etika dosen, yaitu dalam kegiatan akademik seorang dosen wajib menghargai dan mengakui karya ilmiah yang dibuat orang lain (termasuk mahasiswa). Sesuai dengan etika ini pengakuan hak milik orang lain sebagai milik sendiri secara tidak sah, yang dalam karya akademik dikenal dengan sebutan plagiat, dianggap sebagai penipuan, pencurian dan bertentangan dengan moral akademik. Pelanggaran terhadap hak atas kekayaan intelektual ini bukan sekedar pelanggaran etika akademik ringan, bisa ditolerir dan cepat dilupakan, tetapi sudah merupakan pelanggaran berat dengan sanksi sampai ke pemecatan.

4. Eika Mahasiswa

Seperti halnya dengan dosen, maka mahasiswa sebagai salah satu unsur sivitas akademika yang merupakan obyek dan sekaligus subyek dalam proses pembelajaran juga perlu memiliki, memahami dan mengindahkan etika akademik khususnya pada saat mereka sedang berinteraksi dengan dosen maupun sesama mahasiswa yang lain pada saat mereka berada dalam lingkungankampus. Mahasiswa PT memiliki sejumlah hak, berbagai kewajiban dan beberapa larangan (plus sanksi manakala dilanggar) selama berada di lingkungan akademik. Salah satu hak mahasiswa adalah menerima pendidikan/ pengajaran dan pelayanan akademik sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya. Mahasiswa memiliki hak untuk bisa memperoleh pelayanan akademik dan menggunakan semua prasarana dan sarana maupun fasilitas kegiatan kemahasiswaan yang tersedia untuk menyalurkan bakat, minat serta pengembangan diri. Kegiatan kemahasiswaan seperti pembinaan sikap ilmiah, sikap hidup bermasyarakat, sikap kepemimpinan dan sikap kejuangan merupakan kegiatan ko-kurikuler dan ekstra-kurikuler yang bertujuan untuk menjadikan mahasiswa lebih kompeten dan profesional. Mahasiswa tidak cukup hanya memiliki pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), tetapi juga sikap mental (attitude) yang baik. Dalam rangka meningkatkan kompetensi, mahasiswa tidak cukup hanya menguasai iptek sebagai gambaran tingkat kemampuan kognitif maupun psikomotorik, melainkan harus pula memiliki sikap profesional, serta kepribadian yang utuh. Oleh karena itu, dipandang perlu adanya sebuah pedoman yang bisa dijadikan sebagai rambu, standar etika ataupun tatakrama bersikap dan berperilaku di lingkungan kampus, yang di dalamnya memuat garis-garis besar mengenai nilai-nilai moral dan etika yang mencerminkan masyarakat kampus yang religius, ilmiah dan terdidik. Sebagai cermin masyarakat akademik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kesopanan, maka mahasiswa wajib menghargai dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan akademik di mana mereka akan berinteraksi dalam proses pembelajaran.

Selain hak, mahasiswa juga terikat dengan berbagai kewajiban dan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam peraturan akademik. Sebagai contoh, hak untuk mendapatkan kebebasan akademik dalam proses menuntut ilmu, haruslah diikuti juga dengan tanggung jawab bahwa semuanya tetap sesuai dengan etika, norma susila dan aturan yang berlaku dalam lingkungan akademik. Demikian juga dengan hak untuk bisa menggunakan sarana/prasarana kegiatan kurikuler (fasilitas pendidikan, laboratorium, perpustakaan, dll) harus juga diikuti dengan kewajiban untuk menjaga, memelihara dan menggunakannya secara efisien. Segala bentuk vandalisme tidak saja menunjukkan perilaku yang menyimpang, melanggar norma/etika maupun tata krama, tetapi juga mencerminkan sikap (attitude) ketidakdewasaan yang bisa mengganggu terwujudnya suasana akademik yang kondusif.

5. Etika staf administrasi

Seperti halnya dosen dan mahasiswa, staf administrasi juga merupakan salah satu cari civitas akademik yang memiliki peranan yang sangat penting untuk kelancaran proses akademis. Staf memiliki fungsi diantara adalah mengatur segala kegiatan yang berhubungan dengan administrasi dan registrasi mahasiswa maupun dosen. Selain itu, staf memiliki fungsi sebagai fasilitator yang menyiapkan segala kebutuhan dan keperluan proses akademis. Sebagai salah satu bagian yang memegang peranan penting dalam budaya akademis, staf memiliki kode etik tersendiri sebagai pelayan dalam lingkungan kampus. Salah satunya adalah melayani segala kebutuhan administrasi dosen dan mahasiswa dengan baik. Baik dalam hal ini mencakup dapat berkomunikasi dengan baik, dan ramah.

6. Membangun Budaya Akademik

Budaya akademik sebagai suatu subsistem perguruan tinggi memegang peranan penting dalam upaya membangun dan mengembangkan kebudayaan dan peradaban masyarakat (civilized society) dan bangsa secara keseluruhan. Indikator kualitas PT sekarang dan terlebih lagi pada milenium ketiga ini akan ditentukan oleh kualitas civitas akademika dalam mengembangkan dan membangun budaya akademik ini. Budaya akademik sebenarnya adalah budaya universal. Artinya, dimiliki oleh setiap orang yang melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik. Membangun budaya akademik PT merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Diperlukan upaya sosialisasi terhadap kegiatan akademik, sehingga terjadi kebiasaan di kalangan akademisi untuk melakukan norma-norma kegiatan akademik tersebut.

Jika sosialisasi tersebut dilakukan secara kontinu, maka ia akan menjadi sebuah tradisi dan budaya bagi individu-individu dalam masyarakat kampus. Norma-norma akademik merupakan hasil dari proses belajar dan latihan dan bukan merupakan bawaan lahir. Pemilikan budaya akademik seharusnya menjadi idola semua insan akademisi PT, yakni dosen dan mahasiswa. Derajat akademik tertinggi bagi seorang dosen adalah dicapainya kemampuan akademik pada tingkat guru besar (profesor). Sedangkan bagi mahasiswa adalah apabila ia mampu mencapai prestasi akademik yang setinggi-tingginya.

Bagi dosen, untuk mencapai derajat akademik guru besar, ia harus membudayakan dirinya untuk melakukan tindakan akademik pendukung tercapainya derajat guru besar itu. Ia harus melakukan kegiatan pendidikan dan pengajaran dengan segala perangkatnya dengan baik, dengan terus memburu referensi mutakhir. Ia harus melakukan penelitian untuk mendukung karya ilmiah, menulis di jurnal-jurnal ilmiah, mengikuti seminar dalam berbagai tingkat dan forum, dan lain-lain. Ia juga harus melakukan pengabdian pada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kesejahteraan masyarakat.

Bagi mahasiswa, faktor-faktor yang dapat menghasilkan prestasi akademik itu ialah terprogramnya kegiatan belajar, kiat untuk memburu referensi aktual dan mutakhir, diskusi substansial akademik, dan sebagainya. Dengan melakukan aktivitas seperti itu diharapkan dapat dikembangkan budaya mutu (quality culture) yang secara bertahap dapat menjadi kebiasaan dalam perilaku tenaga akademik dan mahasiswa dalam proses pendidikan di perguruan tinggi.

Oleh karena itu, tanpa melakukan kegiatan-kegiatan akademik, mustahil seorang akademisi akan memperoleh nilai-nilai normatif akademik. Boleh jadi ia mampu berbicara tentang norma dan nilai-nilai akademik tersebut di depan forum namun tanpa proses belajar dan latihan norma-norma itu tidak pernah terwujud dalam praktik kehidupan sehari-hari. Bahkan sebaliknya, ia tidak segan-segan melakukan pelanggaran dalam wilayah tertentu baik disadari maupun tidak disadari. Mungkin juga yang terjadi nilai-nilai akademik hanya menyentuh ranah kognitif, tidak sampai menyentuh ranah afektif dan psikomotorik. Fenomena semacam ini dapat saja terjadi pada seorang akademisi, yang selamanya hanya menitipkan nama dalam melaksanakan kuliah, penulisan karya ilmiah, penelitian, pengabdian masyarakat, dan akhir-akhir ini sering terjadi pembelian gelar akademik yang tidak jelas juntrungnya.

Sebagaimana tersurat dalam PP No. 60 Tahun 1999 pasal 2 bahwa PT sebagai subsistem pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut: (1) menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan/atau menciptakan ipteks; (2) mengembangkan dan menyebarluaskan ipteks serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.

Untuk membangun budaya akademik dalam suatu PT, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi. Pertama, adanya sumber daya manusia, terutama staf pengajarnya yang mempunyai keunggulan akademik dan mempunyai dedikasi tinggi untuk pengembangan keilmuan. Kedua, menguasai tradisi akademik yang unggul, melalui penyusunan kurikulum yang aktual, realistik, dan berorientasi ke depan. Diajarkan melalui proses belajar-mengajar dialogis, bebas, dan objektif, dan kemudian dikembangkan dalam diskusi, seminar, penelitian, penerbitan buku dan jurnal ilmiah, yang disebarluaskan kepada masyarakat. Ketiga, tersedianya sarana dan prasarana akademik yang memadai, seperti lingkungan kampus yang sejuk, perpustakaan yang lengkap, dan laboratorium yang modern (Kurniawan, 2004).

Pembinaan dan pengembangan apresiasi disiplin, rasa tanggung jawab, keinginan menghasilkan suatu karya inovatif dan kreatif yang terbaik dan sebagainya seringkali dengan efektif diwujudkan melalui pengembangan contoh keteladanan. Keinginan menghasilkan sesuatu yang lebih baik, terjadinya suasana dan budaya akademik sesama sivitas akademika dan sebagainya dapat menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran internal pada masing-masing sivitas akademika.

Pengembangan budaya akademik menjadi titik temu antara upaya pembinaan karakter dengan peningkatan kualitas hasil dari proses pendidikan. Karakter merupakan bagian integral dari budaya akademik, mengingat karakter diperlukan dan berpotensi dikembangkan dari setiap aktivitas akademik. Ciri-ciri perkembangan budaya akademik mahasiswa, dapat dilihat dari berkembangnya; (1) Kebiasaan membaca dan penambahan ilmu dan wawasan, (2) Kebiasaan menulis, (3) Diskusi ilmiah, (4) Optimalisasi organisasi kemahasiswaan, (5) Proses belajar mengajar Norma-norma akademik merupakan hasil dari proses belajar dan latihan. Menurut Zuchdi (2010) hal tersebut dapat dilakukan oleh masyarakat atau individu sebagai bagian dari lingkungan akademik melalui rekayasa faktor lingkungan. Diantaranya, dapat dilakukan melalui strategi yang meliputi: (1) keteladanan, (2) intervensi, (3) pembiasaan yang dilakukan secara konsisten, dan (4) penguatan.

Dengan kata lain perkembangan dan pembentukan budaya akademik memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan terus-menerus dalam jangka panjang yang dilakukan secara konsisten dan penguatan serta harus dibarengi dengan nilai-nilai luhur yang diterapkan oleh Perguruan Tinggi.

Peranan pengembangan kebudayaan ini bukan hanya tercermin dalam kesempatan sivitas akademika untuk mempelajari dan mengapresiasi budaya pertunjukan melainkan juga pengembangan dan apresiasi budaya perilaku intelektual dan moral masyarakat akademik dalam menyongsong keadaan masa depan.

Kiranya, dengan mudah disadari bahwa PT berperan secara instrumental dalam mewujudkan upaya dan pencapaian budaya akademik tersebut. Perguruan tinggi merupakan wadah pembinaan intelektualitas dan moralitas yang mendasari kemampuan penguasaan ipteks dan budaya dalam pengertian yang luas.Peranan pengembangan kebudayaan ini bukan hanya tercermin dalam kesempatan sivitas akademika untuk mempelajari dan mengapresiasi budaya pertunjukan melainkan juga pengembangan dan apresiasi budaya perilaku intelektual dan moral masyarakat akademik dalam menyongsong keadaan masa depan.

Pada akhirnya PT sebagai pusat kebudayaan akademis terikat pada etika. Etika yang mereka anut berintikan pada suatu kebiasaan yang memberikan peluang bagi civitas untuk mengembangkan modal intelektual maupun modal cultural secara optimal. Untuk itu, etika yang wajib dipedomani dan sekaligus dikembangkan adalah:

  1. Selalu ingin tahu. Hal ini sangat penting karena merupakan suatu motivator yang mendorong seseorang untuk menyelesaikan suatu permasalahn dan titik awal bagi tumbuhnya ilmu pengetahuan.
  2. Teliti, yakni selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan untuk pencapaian suatu kesempurnaan.
  3. Rasional, artinya dalam memecahkan suatu permasalahn yang ditemukan selalu menggunakan pikiran dan timbangan yang logis dan melakukan penelitian yang kritis sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan.
  4. Objektif, artinya dalam mengemukakan sesuatu, harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya yang disertai dengan bukti otentik tanpa ada manipulasi dan pembelokan karena intimidasi pihak-pihak tertentu.
  5. Jujur, artinya bertindak sesua dengan kenyataan tanpa rekayasa dan tanpa ada yang ditutupin dengan maksud mencari keuntungan pribadi.
  6. Inovatif, yakni memiliki daya cipta atau kemampuan menciptakan sesuatu yang baru baik dalam bentuk ide ataupun karya nyata.
  7. Terbuka, artinya bias menerima gagasan baru dari pihak lain tanpa ada singgungan.
  8. Produktif, kaum intelektual tidak hanya hebat dalam menelurkan gagasan, tetapi juga harus dibarengan karya nyata dan penerapan di masyarakat.
  9. Multidimensi, artinya bahwa kebudayaan dapat berdampak sangat kompleks.

Jika dapat dikembangkan secara optimal, terutama di kalangan dosen dan mahasiswa maka terwujudlah budaya akademik. Dalam artian, mereka memeiliki kerangka berpikir, pedoman atau patokan ideal yang sama guna mengisi maupun mengaktualisasikan label mereka sebagai warga masyarakat akademik, yakni kumpulan orang-orang terkenal yang dianggap arif dan bijaksana guna memajukan ilmu pengetahuan.

7. Kultur Perguruan Tinggi dan Etika Keilmuan

Misi perguruan tinggi adalah pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang dikenal dengan tridarma perguruan tinggi. Ketiga hal ini harus dijalankan secara seimbang. Pertanyaannya, pedulikah kita untuk menciptakan kultur akademik yang kondusif? Jika jawabannya “iya”, maka cerdaskanlah mahasiswa sejak masa Orientasi Pengenalan Kampus setiap tahunnya. Mahasiswa sedikit sekali memiliki budaya akademis, seperti kemampuan menulis. Kebanyakan mereka justru meniru (baca: menyontek) makalah-makalah atau skripsi orang dengan metode CS2 (Comot Sana-Comot Sini). Persoalan integritas akademik (academic integrity) maupun kejujuran ilmiah (academic honesty) seakan bukan merupakan konsideran penting. Sebagian mereka bahkan (mungkin) tidak memahami betapa pentingnya kedua nilai tersebut akibatnya jarang dijumpai paper-paper yang orisinal dan berkualitas.

Jika sejak awal-awal masa mengarungi dunia perguruan tinggi mereka sudah diperkenalkan atau diberikan pemantapan (karena sangat bisa jadi ada yang sudah dikenalkan saat SLTA) dalam pemahaman metode penulisan karya ilmiah dan metode penelitian dasar, bukan tidak mungkin akan lahir karya-karya ilmiah yang berbobot dan layak jual (marketable). Lebih dari itu, mereka juga akan terbiasa untuk meneliti, walaupun dalam artian penelitian yang sederhana. Semua hal ini sangat konstruktif untuk membangun budaya akademik yang kondusif di perguruan tinggi.

Sebelum menguraikan lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui apa itu sains dan etika. Sains adalah alat untuk mencari kebenaran. Dan dapat disadari untuk mencari kebenaran kita perlu strategi yang beretika. Strategi disini adalah metode ilmiah. Bagaimanapun banyak terjadi pelanggaran etika dalam penelitian saintifik, yang disebut sebagai penipuan saintifik (scientific fraud).

Penipuan saintifik (scientific fraud) didefinisikan sebagai usaha untuk memanipulasi fakta-fakta atau menerbitkan hasil kerja orang lain secara sengaja. Bagaimanapun, definisi penipuan saintifik tidak selalu jelas. Salah satu aspek dari penipuan saintifik adalah memanipulasi dan mengubah data. Pada tahun 1830, matematikawan dari Inggris bernama Charles Babbage menerangkan teknik manipulasi data. Di dalamnya termasuk trimming (menghapus data yang tidak cocok dengan hasil yang diharapkan) dan cooking (memilih data yang hanya cocok dengan hasil yang diharapkan sehingga membuat data lebih meyakinkan). Sains yang ideal adalah bahwa para ilmuwan seharusnya objektif dan melaporkan semua hasil pengamatan secara lengkap dan jujur (Oklilas, 2007). Bagaimanapun, ini tidak selalu ditemui dalam laporan-laporan ilmiah.

Hasil karya ilmiah akan diakui apabila dapat diulang oleh orang lain di tempat lain dengan cara yang sama dan mendapatkan hasil yang sama (reproducible), barulah dapat diakui sebagai penemuan ilmiah. Sebagai gambaran umum, di dalam perkuliahan etika sains disamping diterangkan pentingnya etika sains juga diajarkan bagaimana menulis, melaporkan dan menganalisis data percobaan secara betul. Jika etika sains secara betul diajarkan dan diterapkan, maka kita dapat menjawab pertanyaan: Apakah aspek etika sains dapat membentuk pribadi yang jujur, disiplin, bertanggung jawab dan sportif.

Hal ini karena ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai daya untuk memperbaiki dirinya sendiri (self correction). Hal ini sesuai dengan sifat ilmu pengetahuan yang berkembang berdasarkan pengetahuan yang telah ditemukan sebelumnya. Bagaimanapun, mentalitas yang jujur mutlak diperlukan sebagai landasan untuk mencapai kemajuan. Pengajaran etika sains kepada para mahasiswa sarjana, magister dan doktor diharapkan dapat menambah kesadaran para mahasiswa bahwa para calon sarjana, calon doktor dan calon professor harus menjunjung tinggi kejujuran. Setidaknya hal ini dapat menjadi sumbangan kecil untuk perbaikan masyarakat kita, yang sedang dihinggapi penyakit korupsi, plagiat, membeli gelar, menyontek dan lain sebagainya. Inilah tugas berat para ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang menyadari pentingnya etika sains dalam pendidikan sains dan riset di Indonesia.

Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang berpikir. Berpikir adalah menggunakan akal budi dalam berbuat dan memutuskan sesuatu yang akan dilakukan. Mungkin ini pulalah yang tertuang dalam proses pembentukan tubuh manusia yang menempatkan kepala pada posisi paling atas dibanding hati. Kepala sebagai tempat bersemayamnya otak yang diyakini sebagai pencetus akal pikiran manusia, sedangkan hati sebagai penguak perasaan kemanusiaan. Tuhan membekali kita hati, sehingga proses berpikir kita tidak sama dengan proses berpikir mesin atau komputer. Contoh aktual tentang hal ini adalah saat pelaksanaan UAN. Nilai yang dihasilkan oleh komputer sebagai pemeriksa ujian siswa penentu dari lulus tidaknya seorang siswa. Hal ini tentu saja tidak dapat kita terima sebagai makhluk yang berpikir dan mempunyai kemanusiaan. Tanpa menilai hasil kerja siswa selama tiga tahun terakhir, tanpa menilai kondisi siswa saat mengerjakan tes, tanpa menilai lingkungan, dan tanpa menilai yang lainnya, UAN dengan “congkaknya” menjadi penentu kelulusan siswa yang sama sekali tak dikenalnya. Berbeda dengan di perguruan tinggi dimana penentuan kelulusan suatu mata kuliah ditentukan dari 4 parameter penilaian yaitu: tugas, quis, ujian tengah semster, dan ujian akhir semester. Sedangkan untuk penentu kelulusan mahasiswa memperoleh gelar sarjana yaitu ujian komprehensif atau sidang sarjana yang diuji oleh tim penguji yang terdiri dari dua atau lebih dosen penguji. Dimana pembimbing tugas akhir juga memiliki kontribusi dalam menentukan nilai rata-rata hasil ujian tugas akhir tersebut. Hal inilah yang membedakan ilklim di perguruan tinggi dan sekolah.

Perkembangan selanjutnya, manusia berpikir menjadi manusia ilmiah. Manusia ilmiah masih jarang diwacanakan. Kata ilmiah masih terbatas pada kreatifitas yang dibuat untuk mengadakan sesuatu, apakah dalam bentuk ciptaan atau tulisan ilmiah. Apa yang dibuat atau ditulis harus sesuai dengan kejadian atau kenyataan, sehingga perlu pemikiran yang jujur. Suatu karya yang dikatakan ilmiah tetapi data yang terkumpul tidak sesuai dengan kenyataan maka karya tersebut tertolak keilmiahannya. Oleh karena itu, hakekat dari ilmiah adalah proses berpikir kapan dan dimanapun dalam berbuat dan bertindak yang semestinya sesuai kenyataan.

Kemampuan berpikir manusia akan berdampak positif kepada prilaku dan keputusan yang ilmiah. Sebenarnya, masyarakat ilmiah tidak harus muncul dari dunia akademisi, meskipun tak dapat disangkal bahwa memang yang terbanyak memperlihatkan keilmiahan dalam proses pelaksanaan tindakan, ada pada dunia akademisi. Tapi, perlu juga ditampilkan hal yang bertolak belakang dari itu, yakni jika di dunia akademik ada tindakan-tindakan yang tidak ilmiah, seperti tawuran mahasiswa atau pengerahan massa dalam proses pencalonan pimpinan kampus. Dunia pendidikan adalah dunianya masyarakat ilmiah. Nilai-nilai yang didasari oleh keilmuan menjadikan dunia pendidikan harus ilmiah. Pendidikan jelas harus bebas dari hal-hal yang mendahulukan perasaan, apalagi perasaan yang justru bukan perasaan manusiawi, tapi perasaan amoral.

Sebenarnya sifat ilmiah adalah sifat yang jujur, sifat yang jauh dari KKN. Oleh karena itu, jika kita telah jujur yakinlah bahwa kita juga telah memiliki sifat ilmiah. Tidak dilandasi oleh kedekatan sehingga kita memberi penghargaan kepada orang. Kita beri penghargaan kepada seseorang karena memang dia pantas menerimanya sesuai indikator yang diyakini banyak pihak, meskipun jika seandainya orang tersebut adalah “musuh” kita. Meski kita diamanatkan untuk menjadi pimpinan dan meski pula diberi kekuasaan prerogatif, tidak serta merta kita menjadi seenaknya berbuat, tetapi kita harus tetap ilmiah. Pilih orang-orang yang memang berkompeten pada bidangnya untuk menduduki suatu jabatan. Kritikan tidak diasumsikan kebencian sehingga dibalas dengan tindakan refresif. Kritikan, meskipun itu salah, harus dengan bijak diartikan sebagai pengawasan terhadap tindakan kita yang kurang benar sehingga kita balas dengan kinerja yang lebih baik.

Aspek pendidikan tidak hanya memberikan pengajaran saja kepada mahasiswa tetapi juga harus mencakup pembentukan sikap dan kepribadian, yang mana hal ini penting dalam menghadapi krisis moral bangsa Indonesia (Oklilas, 2007). Pada dasarnya manusia yang menganut etika tradisional tidak mau menerima perubahan, mereka tetap mempertahankan aturan atau etika yang telah berlaku turun temurun di masyarakatnya. Sedangkan manusia yang menganut eko-etika, mereka akan menerima aturan baru yang berlaku secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman dan dilandasi keseimbangan dan ilmu pengetahuan. Perubahan ini seperti air yang mengalir, yaitu tidak statis.

8. Sikap Ilmiah

Dunia perguruan tinggi yang dikenal sebagai komunitas yang senantiasa menjunjung tinggi obyektifitas, kebenaran ilmiah dan keterbukaan mempunyai tanggungjawab dalam mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai jawaban dari permasalahan yang muncul di masyarakat dengan metode yang modern. Ilmu pengatahun sendiri merupakan pengetahuan yang sistematik, rasional, empiris, umum dan komulatif yang dihasilkan oleh akal pikiran manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Tugas ini menjadi penting karena merupakan bagian dari pelaksanaan “Tri Dharma” perguruan tinggi. Dan menjadi lebih penting karena ada 3 fungsi ilmu pengetahuan yang sangat terkait dengan kelangsungan dan kemaslahatan hidup orang banyak, yaitu fungsi eksplanatif (menerangkan gejala atau problem), prediktif (meramalkan kejadian atau efek gejala) dan control (mengendalikan atau mengawal perubahan yang terjadi di masa datang).

Melihat kenyataan seperti ini maka sivitas akademika (dosen dan mahasiswa) harus mempunyai sikap ilmiah untuk menunjang terlaksananya tugas-tugas tersebut dalam suasana akademik yang telah dibangun. Sikap ilmiah ini tidak saja terkait dengan pola pikir yang ilmiah, tetapi juga secara emosi (afektif) dan perilaku (psikomotor). Adapun sikap ilmiah yang harus dimiliki antara lain (Fajar & Effendi, 2000):

  1. Hasrat ingin tahu dan belajar terus menerus

Berkembangnya sebuah ilmu pengatahuan tidak dapat dilepaskan dari dorongan atau hasrat ingin tahu (curiosity) yang merupakan sifat dasar manusia. Hilangnya dorongan ini akan mematikan atau melumpuhkan perkembangan ilmu pengatahuan. Disamping itu pesatnya perkembangan ilmu pengatahuan tidak cukup hanya dimilikinya hasrat ingin tahu, tetapi harus ditunjang dengan sebuah tindakan (action) berupa belajar terus menerus. Kedua faktor inilah yang akan membedakan seorang civitas akademika dengan komunitas lain dalam kehidupan masyarakat. Hilangnya kedua factor ini akan menghilangkan keunikan sebuah perguruan tinggi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.

  1. Daya analisis yang tajam

Setiap permasalahan dibutuhkan adanya analisis yang tajam untuk menentukan ketepatan dan kebenaran sebuah tindakan dari hasil pemecahan masalah. Analisis yang tajam juga dibutuhkan manakala variasi terjadinya masalah sangat banyak, sehingga jika tidak teliti dalam menganalisis akan mengakibatkan kekaburan atau ketidaktepatan produk dari solusi yang diberikan. Daya analisis yang tajam akan sangat membantu dalam memberikan solusisolusi yang kreatif dan inovatif dalam kehidupan ini, karena analisis yang baik akan dapat mengurai permasalahan yang dihadapi dengan baik pula.

  1. Jujur dan terbuka

Dalam dunia akademik kejujuran dan keterbukaan menjadi kunci pembuka berkembangnya ilmu pengetahuan. Kejujuran dan keterbukaan juga menjadi ciri dari pribadi yang sehat dan matang. Hal ini dapat dimengerti manakala kejujuran dan keterbukaan sudah hilang dari diri sivitas akademika (baca : mahasiswa), maka yang terjadi adalah mundurnya ilmu pengetahuan, berkembangnya perilaku negative berupa penjiplakan karya ilmiah, mandegnya pemikiran-pemikiran baru dan ketidakmampuan mengembangkan suasana akademik yang sehat.

  1. Kritis terhadap pendapat yang berbeda

Perbedaan pendapat dalam dunia perguruan tinggi (akademik) adalah sesuatu yang wajar dan alamiah, karena adanya heterogenitas (kemajemukan) civitas akademika baik melalui pola pikir maupun kepribadian. Perbedaan ini akan meningkatkan daya kritis kita manakala disikapi dengan sikap positif dan bertanggungjawab. Artinya adanya kesadaran yang tinggi bahwa setiap perbedaan mempunyai akar perbedaan yang harus dicari dan didekati dengan suasana akademik yang sehat dan masing-masing pihak bertanggungjawab terhadap apa yang telah dikeluarkannya. Perbedaan tidak berarti sebuah permusuhan atau ketidaksenangan antar pihak, melainkan menunjukkan keberagaman pemikiran dan dapat dijadikan sebagai stimulus untuk melakukan pendekatan-pendekatan menuju tujuan yang lebih baik. Kritis terhadap sebuah perbedaan yang terjadi akan meningkatkan semangat untuk mencari solusi yang terbaik dalam menghadapi permasalahan jika masing-masing pihak menyadari pentingnya tujuan bersama.

  1. Tanggungjawab yang tinggi

Setiap sivitas akademika mempunyai tanggungjawab sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Pelaksanaan terhadap tanggungjawab ini akan menentukan keberhasilan komulatif dari fungsi sebuah perguruan tinggi. Tanggungjawab yang dimiliki tidak hanya terkait dengan internal lingkungan akademisi tetapi juga lingkungan global yang ada di luar (eksternal). Permasalahan-permasalahan yang menyelimuti dunia perguruan tinggi, yang muncul ditengah masyarakat, percaturan berbangsa dan bernegara di tengah globalisasi harus ikut menjadi perhatian sivitas akademika, sehingga apa yang akan dilakukan akan mempunyai nilai tambah yang lebih besar.

  1. Bebas dari prasangka

Munculnya prasangka dalam diri seseorang akan mempengaruhi pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya. Prasangka akan mempunyai dampak terhadap kondisi fisik dan non fisik (psikologis) seseorang. Prasangka dapat melemahkan upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Prasangka juga dapat mengakibatkan seseorang terganggu kondisi psikologisnya yang dapat berakibat pada konflik (intrapersonal dan interpersonal) serta stress. Apabila kedua hal ini telah terpengaruh maka hasil yang diharapkan tidak optimal bahkan tujuan yang ingin dicapai tidak dapat terlaksana. Prasangka bisa menjadi bom waktu dalam pelaksanaan tugas seseorang karena munculnya perasaan tidak senang atau perilaku yang tidak menyenangkan yang setiap saat akan berakibat negatif bagi pelaksanaan tugas dan tercapainya tujuan baik secara individu maupun organisasi (lembaga).

  1. Menghargai nilai, norma, kaidah dan tradisi keilmuan

Perguruan tinggi mempunyai budaya dan tradisi yang unik dan has sebagai lembaga keilmuan yang membedakan dengan lembaga lainnya dalam masyarakat. Salah satu tradisi keilmuan yang tetap dikembangkan adalah adanya kebebasan dan mimbar akademik, kebebasan berpikir dan berpendapat serta nilai keterbukaan dalam mengembangkan keilmuan. Penghargaan terhadap nilai yang telah dikembangkan ini menjadi salah satu ciri terjadinya penerimaan fungsi perguruan tinggi dalam mengembangkan keilmuan dan pengabdian kepada masyarakat, sehingga setiap sivitas akademika perlu memiliki sikap-sikap ini. Penghargaan ini juga menjadi ciri khas seorang sivitas akademika yang berkepribadian sehat dan matang dalam menjalankan fungsi-fungsinya.

9. Penutup

Academic atmosphere yang kondusif tidak dapat dicapai tanpa melalui kebebasan akademik. Kebebasan akademik yang dimaksudkan di sini adalah kebebasan untuk menentukan materi/substansi pembelajaran, penelitian serta metode penyampaian dan publikasi hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sesuai dengan etika keilmuan. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan dorongan bagi setiap civitas untuk mengembangkan dan menjaga tradisi maupun budaya akademik yang mereka miliki. Jadi, jelas bahwa akan dijumpai variasi akibat perbedaan budaya akademik yang dimiliki oleh masing-masing PT. Hal tersebut bisa dipahami mengingat keberadaan PT didasarkan pada latar belakang yang berbeda dalam hal ukuran maupun kompleksitasnya. Pentingnya kultur/budaya akademik yang berbeda, juga ditujukan agar PT yang baru tumbuh dan berusaha untuk mencapai keunggulan dengan cara yang berbeda. Oleh karena itu, kebebasan akademik merupakan prinsip dasar, bersifat universal dan sangat diperlukan bagi PT yang kemungkinan akan mempunyai peran berbeda dalam melayani dan memuaskan stakeholder mereka yang lebih spesifik.

Setiap orang memang mempunyai kecenderungan berbeda-beda dalam mempersepsi, mengapresiasi dan melakukan aksi, tergantung latar belakang sejarahnya dan karakternya. Pada akhirnya, untuk mensukseskan membangun dan mengembangkan budaya akademik dibutuhkan sinergi dari segenap civitas kampus antara lain sebagai berikut.

  1. Peningkatan sarana prasarana serta kualitas pelayanan, seperti perpustakaan, public space, dll. Di samping kriteria kuantitas dan kualitas secara fungsional, penyediaan dan pengelolaan fasilitas pendidikan hendaknya memenuhi kriteria: aman, nyaman, dan manusiawi. Sangat diperlukan bagi terselenggaranya pendidikan karakter yang memang merupakan wahana pengembangan nilai-nilai kemanusiaan.
  2. Optimalisasi fungsi Organisasi kemahasiswaan serta UKM sebagai wahana untuk menumbuh kembangkan kemampuan intelektualitas, afeksi, kinestetik, dan emosional seorang mahasiswa. Serta sebagai penyokong upaya pengembangan kultur akademik ini.
  3. Penciptaan kultur lembaga yang mendukung terciptanya budaya akademik, dimana semua “elit” akademik harus memberikan contoh dan teladan, serta bimbingan yang baik bagi semua mahasiswanya.